Sleeping Beauty: Dari Dongeng Kelam ke Kisah Disney yang Romantis
Sejarah & Sastra

Sleeping Beauty: Dari Dongeng Kelam ke Kisah Disney yang Romantis

Jauh sebelum Disney menjadikan Sleeping Beauty sebagai kisah cinta yang penuh keajaiban, ada cerita lain yang bersembunyi di baliknya. Cerita yang tidak dihiasi nyanyian merdu atau peri bersayap, tetapi kisah yang lahir dari kegelapan abad ke-17. Sebuah dongeng yang lebih mirip mimpi buruk daripada kisah romantis.

Talia dan Raja: Kegelapan di Balik Tidur Panjang (Giambattista Basile, 1634-1636)

Cerita tentang Talia dan raja berasal dari versi Sleeping Beauty yang ditulis oleh Giambattista Basile, seorang penulis asal Italia. Kisah ini pertama kali dipublikasikan dalam bukunya Pentamerone pada tahun 1634-1636. Versi Basile ini jauh lebih kelam dan gelap dibandingkan dengan versi yang kita kenal melalui Disney, dengan banyak elemen kekerasan dan ketidakadilan yang tidak ada dalam adaptasi modern.

Berikut adalah versi asli Sleeping Beauty:

Pada suatu masa, seorang gadis bernama Talia terlahir dalam keluarga kerajaan. Ia tidak pernah tahu bahwa takdirnya telah ditentukan sejak awal, bahwa hidupnya bukanlah miliknya sendiri. Para peramal istana meramalkan bahwa ia akan tertusuk serpihan rami dan tertidur, bukan sebentar, bukan sehari atau seminggu, tetapi selamanya. Ayahnya, raja, dalam kepanikan mencoba menantang ramalan itu. Ia memerintahkan agar semua rami di kerajaannya dimusnahkan, tetapi seperti banyak raja lainnya, ia tidak mampu mengalahkan waktu.

Talia tumbuh menjadi gadis muda yang penasaran, dan pada suatu hari ia menemukan alat pemintal yang tersembunyi di istana. Jemarinya yang halus menyentuh benda itu, dan dalam sekejap, ramalan yang telah lama ditakuti menjadi nyata. Ia terjatuh, tubuhnya membeku dalam keheningan, seolah nyawanya dicabut tanpa peringatan. Tidak ada peri yang datang untuk menyelamatkannya, tidak ada orang tua yang menangis dalam pelukan. Kastilnya ditinggalkan, debu-debu memenuhi lantai yang pernah dipijaknya, dan semak-semak liar menelan istana dalam kesunyian yang pekat.

Bertahun-tahun kemudian, seorang raja dari negeri lain melewati reruntuhan itu. Ia melihat Talia yang terbaring di tempat tidur, wajahnya masih seindah mimpi. Tapi kisah ini bukan tentang seorang pangeran yang mencium sang putri dengan lembut. Sang raja, dikuasai oleh nafsu, tidak mencoba membangunkannya. Ia tidak ingin menyelamatkan, hanya ingin mengambil. Maka di dalam kastil sunyi itu, ia memperkosa tubuh yang tak dapat melawan. Setelah puas, ia pergi begitu saja, meninggalkan gadis itu sendirian dalam tidurnya yang tak terganggu.

Namun, waktu terus berjalan. Talia, yang bahkan tidak sadar bahwa hidupnya telah dihancurkan, melahirkan dua anak kembar. Bayi-bayi itu menangis kelaparan, merangkak mencari ibunya. Salah satu dari mereka, dengan naluri seorang bayi, mengisap jari sang ibu, secara tak sengaja mengeluarkan serpihan rami yang membuatnya tertidur begitu lama. Dan tiba-tiba, Talia bangun. Tidak oleh ciuman cinta sejati, tidak oleh suara lembut yang memanggilnya kembali ke dunia, tetapi oleh rasa lapar seorang bayi yang bahkan belum memahami dunia tempat ia dilahirkan.

Sang raja kembali ke kastil itu, mungkin karena perasaan bersalah, mungkin karena sekadar penasaran. Di sana, ia menemukan Talia yang kini sadar, memeluk anak-anak yang bahkan tidak ia sadari keberadaannya. Dengan tanpa rasa penyesalan, ia mengklaim mereka sebagai miliknya, seperti seorang pria yang mengklaim harta yang telah lama ditinggalkan. Tetapi kisah ini tidak berhenti di sana.

Sang raja telah memiliki seorang istri, seorang ratu yang akhirnya mengetahui rahasia suaminya. Amarahnya membara, tetapi bukan kepada pria yang telah mengkhianatinya, melainkan kepada Talia dan anak-anaknya. Dalam kebencian yang membakar, ia merancang rencana yang lebih kejam dari yang bisa dibayangkan: anak-anak itu akan dimasak dan disajikan sebagai makanan bagi raja.

Namun, kejahatan sering kali beradu dengan takdir yang tak terduga. Seorang pelayan yang iba menggagalkan rencana itu, menyelamatkan anak-anak dari kematian yang mengerikan. Ketika raja mengetahui niat istrinya, ia menjatuhkan hukuman yang jauh lebih brutal. Sang ratu dilempar ke dalam kobaran api, tubuhnya dilahap oleh nyala yang tak kenal ampun.

Dan kemudian, seperti sebuah akhir yang ironis, raja menikahi Talia. Tidak ada kata penyesalan, tidak ada permintaan maaf, hanya sebuah kesimpulan yang dipaksakan. Seolah-olah, dalam dunia yang gelap itu, seorang gadis yang telah direnggut haknya masih harus merasa beruntung karena diberikan “akhir bahagia.” Tetapi benarkah ini kebahagiaan? Ataukah hanya perpanjangan dari nasib yang tidak pernah bisa ia kendalikan?

Disney: Menyulam Mimpi dari Kegelapan

Di abad ke-20, Disney menghapus semua jejak kegelapan itu. Tidak ada pemerkosaan, tidak ada anak-anak yang hampir dimasak hidup-hidup. Kisah itu dibersihkan, dibentuk ulang menjadi sesuatu yang bisa dinikmati oleh semua usia. Aurora, putri yang menggantikan Talia, masih tertidur, tetapi kali ini ia tidak tertidur dalam kehancuran, melainkan dalam keajaiban.

Kutukan yang menimpanya bukan akibat dari kejahatan manusia, tetapi dari sihir. Dan sang penyelamatnya bukanlah seorang pria yang menyalahgunakan kekuasaannya, melainkan seorang pangeran yang berjuang untuknya. Ia melawan naga, ia berlari melewati duri, dan ketika akhirnya ia menciumnya, itu bukan tindakan kepemilikan, tetapi sebuah harapan. Aurora bangun, bukan dalam keterkejutan dan penderitaan, tetapi dalam kenyamanan dan kebahagiaan. Dunia Disney tidak mengizinkan sesuatu yang lebih buruk dari itu.

Kisah-Kisah Kelam dari Abad ke-17

Tetapi mengapa versi asli begitu mengerikan? Mengapa seseorang menuliskan kisah seperti itu? Untuk memahami jawabannya, kita harus kembali ke abad ke-17, ke masa di mana dunia lebih kejam daripada yang bisa kita bayangkan.

Saat itu, perempuan bukanlah manusia dengan hak, melainkan milik. Tubuh mereka bukan milik mereka sendiri, tetapi milik pria yang lebih berkuasa. Perkosaan bukan hanya terjadi, tetapi sering kali tidak dihukum. Dan lebih buruk lagi, pernikahan sering digunakan sebagai cara untuk menghapus kejahatan. Seorang pria yang telah mengambil sesuatu dari seorang perempuan bisa menikahinya, dan dunia akan menganggap itu sebagai penyelesaian yang adil.

Kekerasan dan hukuman brutal adalah bagian dari kehidupan sehari-hari. Orang-orang dihukum mati di alun-alun kota, tubuh mereka dicincang sebagai tontonan. Kisah-kisah sadis bukanlah dongeng untuk menakut-nakuti anak-anak, tetapi cerminan dari kenyataan yang mereka lihat setiap hari. Dalam dunia seperti itu, cerita tentang seorang gadis yang diperkosa dalam tidurnya tidak dianggap sebagai tragedi yang luar biasa. Itu hanyalah bagian dari kehidupan, sesuatu yang bisa diceritakan tanpa rasa ngeri, tanpa keinginan untuk mengubahnya.

Dari Mimpi Buruk ke Mimpi Indah

Hari ini, kita lebih memilih cerita yang memberi harapan. Kita ingin percaya bahwa cinta bisa membangunkan seseorang, bahwa kebaikan bisa menang melawan kejahatan. Disney memberi kita itu—sebuah versi dunia di mana keajaiban menghapus luka, di mana tidak ada penderitaan yang tidak bisa diperbaiki dengan satu ciuman cinta sejati.

Tetapi ada sesuatu yang harus kita ingat: kisah-kisah yang lebih tua, meskipun kelam, adalah jendela ke masa lalu. Mereka mengingatkan kita bahwa dunia tidak selalu sebaik yang kita harapkan, bahwa sejarah manusia penuh dengan kegelapan yang tak terkatakan. Sleeping Beauty, dalam segala bentuknya, adalah bukti bahwa dongeng bukan hanya tentang keajaiban, tetapi juga tentang bagaimana manusia melihat dunia di zaman mereka. Dan terkadang, melihat ke belakang bisa mengingatkan kita betapa beruntungnya kita hidup di zaman di mana kengerian semacam itu hanya tersisa dalam cerita, bukan dalam kenyataan.

Related Articles

More Articles You Might Like