Pernahkah Anda merasa diperhatikan saat sedang scrolling media sosial? Seolah-olah iklan yang muncul tahu persis apa yang sedang Anda pikirkan atau rencanakan? Jangan buru-buru bergidik ngeri, karena mungkin saja intuisi Anda benar. Bukan hanya perasaan semata, ada sejarah panjang kolaborasi antara raksasa teknologi dan pemerintah yang patut dipertanyakan. Bayangkan, setiap like, komentar, pencarian, dan bahkan lokasi Anda, bisa menjadi bagian dari data yang dianalisis dan digunakan oleh pihak-pihak tertentu.
Era Snowden: Ketika Tabir Mulai Tersingkap
Pada tahun 2013, dunia dikejutkan oleh Edward Snowden, mantan kontraktor Badan Keamanan Nasional (NSA) Amerika Serikat. Snowden membocorkan ribuan dokumen rahasia yang mengungkap program pengawasan global yang dijalankan oleh NSA, dengan bantuan dari perusahaan teknologi seperti Google dan Facebook. Salah satu program yang paling kontroversial adalah PRISM.
PRISM, sesuai dokumen yang dibocorkan Snowden, adalah program pengawasan rahasia yang memungkinkan NSA untuk mengumpulkan data langsung dari server perusahaan teknologi besar seperti Google, Facebook, Apple, dan Microsoft. Data yang dikumpulkan termasuk email, obrolan video dan suara, foto, video, file yang disimpan, dan detail media sosial. Jadi, bukan sekadar iklan yang "mengejar" Anda, melainkan potensi pengawasan yang lebih dalam.
Menurut laporan The Guardian, program PRISM dimulai pada tahun 2007 dan tumbuh secara signifikan selama bertahun-tahun. Perusahaan-perusahaan teknologi ini, meskipun beberapa membantah keterlibatan langsung, dituduh memberikan akses "pintu belakang" ke server mereka untuk memfasilitasi pengumpulan data oleh NSA.
Studi Kasus: Facebook dan Cambridge Analytica - Bukan Kasus Tunggal
Skandal Cambridge Analytica pada tahun 2018 menjadi contoh nyata bagaimana data pengguna Facebook dapat disalahgunakan. Cambridge Analytica, sebuah perusahaan konsultan politik, mengumpulkan data dari jutaan pengguna Facebook tanpa persetujuan mereka dan menggunakan data tersebut untuk mempengaruhi opini publik dalam pemilihan presiden Amerika Serikat 2016.
Kejadian ini bukan sekadar pelanggaran privasi, melainkan juga sebuah peringatan tentang betapa rentannya data pribadi kita dan bagaimana data tersebut dapat dimanipulasi untuk tujuan politik. Meskipun Facebook mengaku telah mengubah kebijakan mereka untuk mencegah kejadian serupa terulang, pertanyaan tetap ada: Seberapa amankah data kita di tangan perusahaan-perusahaan teknologi raksasa?

Data Sebagai Aset Pemerintah?
Tentu, ada argumen bahwa pengumpulan data oleh pemerintah diperlukan untuk keamanan nasional dan mencegah terorisme. Namun, garis antara keamanan dan pelanggaran privasi sangat tipis. Apakah kita rela mengorbankan privasi demi keamanan yang belum tentu terjamin?
Pada tahun 2016, Peter Thiel, salah satu pendiri PayPal dan investor awal Facebook, pernah berkata, "Data adalah minyak baru." Pernyataan ini menggambarkan betapa berharganya data di era digital. Data menjadi komoditas yang diperjualbelikan, dianalisis, dan digunakan untuk berbagai tujuan, termasuk oleh pemerintah.
Jadi, Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Informasi adalah kekuatan. Semakin banyak kita tahu tentang bagaimana data kita dikumpulkan dan digunakan, semakin besar peluang kita untuk melindungi privasi kita. Beberapa langkah yang bisa kita ambil antara lain:
- Tinjau Pengaturan Privasi: Luangkan waktu untuk meninjau dan menyesuaikan pengaturan privasi di akun media sosial dan layanan online lainnya. Batasi informasi yang Anda bagikan dan kontrol siapa yang dapat melihatnya.
- Gunakan Alat Privasi: Pertimbangkan untuk menggunakan alat privasi seperti VPN (Virtual Private Network) dan browser yang berfokus pada privasi.
- Berpikir Sebelum Berbagi: Sebelum memposting sesuatu di media sosial, tanyakan pada diri sendiri apakah Anda nyaman jika informasi tersebut dilihat oleh orang lain, termasuk pemerintah.
- Dukung Legislasi Privasi: Dukung organisasi dan politisi yang memperjuangkan undang-undang yang melindungi privasi digital.
Privasi bukan lagi sekadar pilihan, melainkan hak yang harus kita perjuangkan. Apakah kita akan terus membiarkan data kita dieksploitasi demi keuntungan perusahaan dan kepentingan politik? Atau akankah kita bangkit dan mengambil kendali atas informasi pribadi kita? Pilihan ada di tangan kita.