
Akar kebohongan ini merambat ke tahun 1950-an. Saat studi Dr. Ernst Wynder di Sloan-Kettering Institute membuktikan tar rokok menyebabkan kanker pada tikus, industri rokok panik. Alih-alih mengakui, mereka membentuk Tobacco Industry Research Committee (TIRC) pada 1954—front ilmiah palsu untuk memproduksi ribuan penelitian "alternatif". Mereka membayar ilmuwan seperti Dr. Clarence Cook Little untuk menyangkal kaitan rokok-kanker, sambil menyembunyikan laporan internal seperti "Proyek XYZ" (1968) yang mengakui: "Rokok adalah mesin pembunuh paling efisien yang pernah dibuat."
Taktik mereka canggih: membanjiri media dengan keraguan ilmiah. Iklan tahun 1954 di 448 koran AS bertajuk "A Frank Statement to Cigarette Smokers" menjanjikan "perhatian pada kesehatan publik", sementara di belakang, CEO Philip Morris, Joseph Cullman, tertawa dalam rapat tertutup: "Kami menjual ketergantungan, dan mereka membelinya dengan sukarela."
Pada 1995, whistleblower Merrell Williams membocorkan 4.000 halaman dokumen rahasia Brown & Williamson ke New York Times. Satu catatan tahun 1963 mengguncang dunia: "Rokok adalah alat pengantar nikotin. Nikotin membuat kecanduan. Karena itu, kami berada di bisnis kecanduan."
Dokumen ini menjadi senjata di pengadilan. Pada 2014, pengadilan Florida memutuskan RJ Reynolds harus membayar $23,6 miliar kepada Cynthia Robinson, janda Michael Johnson yang meninggal akibat kanker paru-paru di usia 36. Dalam persidangan yang mengharu-biru, Cynthia menunjukkan baju tidur suaminya yang masih berbau rokok: "Mereka tahu ini racun, tapi memilih uang daripada nyawa suamiku."
Gugatan kelas-aksi USA v. Philip Morris (2006) mengungkap lebih banyak kebusukan: perusahaan rokok sengaja menarget anak-anak dengan iklan karakter kartun seperti Joe Camel, yang meningkatkan perokok remaja AS sebesar 34% pada 1990-an.
Sementara AS mulai memberangus, Big Tobacco beralih ke negara berkembang. Di Indonesia—surga rokok dengan 65 juta perokok—perusahaan seperti HM Sampoerna (kini anak perusahaan Philip Morris) menggempur pasar dengan iklan di sekolah dan konser musik. Data Kemenkes RI (2023) mengejutkan: 33,4% remaja 10-18 tahun merokok, tertinggi di ASEAN. Di balik ini, lobi kuat industri: pada 2022, cukai rokok hanya naik 5%, jauh di bawah rekomendasi WHO (10-15%).
Dr. Widyastuti Soerojo, pakar kesehatan masyarakat, mengungkap strategi licin: "Mereka menyumbang ke yayasan pendidikan, lalu memblokir regulasi. Rokok elektrik? Itu jebakan baru untuk generasi muda."
Pasca-skandal 1994, AS melancarkan serangan balik.
Master Settlement Agreement
(1998) memaksa Big Tobacco membayar $246 miliar ke 46 negara bagian untuk biaya kesehatan. Iklan rokok di TV dilarang, kemasan wajib mencantumkan peringatan bergambar. Tapi di Indonesia, pertempuran masih sengit. Pada 2023, Jokowi menolak menandatangani RUU Pertembakauan yang didukung industri, sementara aktivis seperti Ninik Rahayu dari Komnas Pengendalian Tembakau terus mendesak
"pajak rokok setinggi mungkin untuk menyelamatkan anak-anak."
Hari ini, meski rokok tradisional mulai redup, Big Tobacco berubah wajah. Mereka membanjiri pasar dengan vape rasa bubblegum dan spons TikTok challenge. Philip Morris bahkan mengklaim "Masa Depan Bebas Asap" dengan produk IQOS—tapi penelitian Journal of the American Heart Association (2023) membuktikan: "Zat kimia dalam vape merusak pembuluh darah sama parahnya."
Di reruntuhan kebohongan mereka, satu pertanyaan menggantung: Akankah korporasi belajar dari sejarah, atau uang tetap lebih berharga daripada napas manusia? Seperti dikatakan Cynthia Robinson usai kemenangan di pengadilan: "Mereka tak bisa mengembalikan suamiku, tapi setidaknya, air mata kami akhirnya didengar."
Sementara itu, di suatu pabrik rokok di Jawa Timur, mesin-mesin masih berdentum. Asap mengepul, membentuk bayang-bayang tujuh eksekutif yang pernah bersumpah palsu—dan jutaan nyawa yang terkubur dalam diam.
Temukan artikel menarik lainnya yang mungkin Anda sukai berdasarkan topik dan kategori yang serupa.