Ketika Perusahaan Rokok Menutupi Bukti Kanker: Konspirasi Big Tobacco (1950-1998)
Konspirasi Korporasi

Ketika Perusahaan Rokok Menutupi Bukti Kanker: Konspirasi Big Tobacco (1950-1998)

"Sumpah Palsu di Gedung Kongres: Skandal Big Tobacco yang Mengguncang Dunia"

Ketika Industri Rokok Menjual Kebohongan, dan Darah Menjadi Mata Uang Keuntungan

Panggung Sandiwara di Washington D.C.: "Nikotin Tidak Membuat Kecanduan"

Tanggal 14 April 1994, ruang sidang Gedung Kongres AS gempar. Tujuh eksekutif papan atas perusahaan rokok terbesar Amerika—termasuk RJ Reynolds, Philip Morris, dan Lorillard—berdiri tegak, tangan terangkat untuk bersumpah. Di depan anggota Komite Energi dan Perdagangan DPR AS, mereka dengan lantang menyatakan:

"Nikotin tidak menyebabkan kecanduan."

Pernyataan itu seperti petir di siang bolong. Padahal, di meja hakim tersimpan laporan rahasia sejak 1963: dokumen internal Brown & Williamson yang membuktikan perusahaan tahu nikotin bersifat adiktif sejak 1950-an. Thomas Sandefur, CEO Brown & Williamson, bahkan berkata dingin,

"Merokok hanyalah pilihan gaya hidup, seperti minum kopi."

Padahal, di balik layar, mereka menghabiskan miliaran dolar untuk menciptakan rokok dengan kadar nikotin lebih tinggi—

"untuk mengikat pelanggan,"

begitu tertulis dalam memo rahasia 1972.

Konspirasi Setengah Abad: Asap Menutupi Kebenaran

Akar kebohongan ini merambat ke tahun 1950-an. Saat studi Dr. Ernst Wynder di Sloan-Kettering Institute membuktikan tar rokok menyebabkan kanker pada tikus, industri rokok panik. Alih-alih mengakui, mereka membentuk Tobacco Industry Research Committee (TIRC) pada 1954—front ilmiah palsu untuk memproduksi ribuan penelitian "alternatif". Mereka membayar ilmuwan seperti Dr. Clarence Cook Little untuk menyangkal kaitan rokok-kanker, sambil menyembunyikan laporan internal seperti "Proyek XYZ" (1968) yang mengakui: "Rokok adalah mesin pembunuh paling efisien yang pernah dibuat."

Dr. Ernst Wynder
Dr. Ernst Wynder

Taktik mereka canggih: membanjiri media dengan keraguan ilmiah. Iklan tahun 1954 di 448 koran AS bertajuk "A Frank Statement to Cigarette Smokers" menjanjikan "perhatian pada kesehatan publik", sementara di belakang, CEO Philip Morris, Joseph Cullman, tertawa dalam rapat tertutup: "Kami menjual ketergantungan, dan mereka membelinya dengan sukarela."

Dokumen Rahasia dan Mayat dalam Lemari Besi

Pada 1995, whistleblower Merrell Williams membocorkan 4.000 halaman dokumen rahasia Brown & Williamson ke New York Times. Satu catatan tahun 1963 mengguncang dunia: "Rokok adalah alat pengantar nikotin. Nikotin membuat kecanduan. Karena itu, kami berada di bisnis kecanduan."

Dokumen ini menjadi senjata di pengadilan. Pada 2014, pengadilan Florida memutuskan RJ Reynolds harus membayar $23,6 miliar kepada Cynthia Robinson, janda Michael Johnson yang meninggal akibat kanker paru-paru di usia 36. Dalam persidangan yang mengharu-biru, Cynthia menunjukkan baju tidur suaminya yang masih berbau rokok: "Mereka tahu ini racun, tapi memilih uang daripada nyawa suamiku."

Gugatan kelas-aksi USA v. Philip Morris (2006) mengungkap lebih banyak kebusukan: perusahaan rokok sengaja menarget anak-anak dengan iklan karakter kartun seperti Joe Camel, yang meningkatkan perokok remaja AS sebesar 34% pada 1990-an.

Epidemi Global: Asap Membara di Negara Berkembang

Sementara AS mulai memberangus, Big Tobacco beralih ke negara berkembang. Di Indonesia—surga rokok dengan 65 juta perokok—perusahaan seperti HM Sampoerna (kini anak perusahaan Philip Morris) menggempur pasar dengan iklan di sekolah dan konser musik. Data Kemenkes RI (2023) mengejutkan: 33,4% remaja 10-18 tahun merokok, tertinggi di ASEAN. Di balik ini, lobi kuat industri: pada 2022, cukai rokok hanya naik 5%, jauh di bawah rekomendasi WHO (10-15%).

Dr. Widyastuti Soerojo, pakar kesehatan masyarakat, mengungkap strategi licin: "Mereka menyumbang ke yayasan pendidikan, lalu memblokir regulasi. Rokok elektrik? Itu jebakan baru untuk generasi muda."

Rokok di kalangan anak-anak bawah umur di Indonesia
Rokok di kalangan anak-anak bawah umur di Indonesia

Pertarungan Hukum dan Air Mata yang Tak Pernah Kering

Pasca-skandal 1994, AS melancarkan serangan balik.

Master Settlement Agreement

(1998) memaksa Big Tobacco membayar $246 miliar ke 46 negara bagian untuk biaya kesehatan. Iklan rokok di TV dilarang, kemasan wajib mencantumkan peringatan bergambar. Tapi di Indonesia, pertempuran masih sengit. Pada 2023, Jokowi menolak menandatangani RUU Pertembakauan yang didukung industri, sementara aktivis seperti Ninik Rahayu dari Komnas Pengendalian Tembakau terus mendesak

"pajak rokok setinggi mungkin untuk menyelamatkan anak-anak."

Warisan Beracun: Bisakah Keadilan Mengejar Keuntungan?

Hari ini, meski rokok tradisional mulai redup, Big Tobacco berubah wajah. Mereka membanjiri pasar dengan vape rasa bubblegum dan spons TikTok challenge. Philip Morris bahkan mengklaim "Masa Depan Bebas Asap" dengan produk IQOS—tapi penelitian Journal of the American Heart Association (2023) membuktikan: "Zat kimia dalam vape merusak pembuluh darah sama parahnya."

Di reruntuhan kebohongan mereka, satu pertanyaan menggantung: Akankah korporasi belajar dari sejarah, atau uang tetap lebih berharga daripada napas manusia? Seperti dikatakan Cynthia Robinson usai kemenangan di pengadilan: "Mereka tak bisa mengembalikan suamiku, tapi setidaknya, air mata kami akhirnya didengar."

Sementara itu, di suatu pabrik rokok di Jawa Timur, mesin-mesin masih berdentum. Asap mengepul, membentuk bayang-bayang tujuh eksekutif yang pernah bersumpah palsu—dan jutaan nyawa yang terkubur dalam diam.

Related Articles

More Articles You Might Like