Bayangkan sebuah era di mana lampu sorot Hollywood bersinar terang, namun di balik gemerlapnya tersimpan bayangan gelap. Era ketika keputusan tentang siapa yang menjadi bintang dan film mana yang akan meledak di pasaran tak hanya ditentukan oleh bakat dan kualitas, tetapi juga oleh kekuatan tersembunyi yang mencengkeram industri perfilman: Mafia.
Ketika “Made Men” Ikut Campur: Awal Mula Cengkeraman Mafia di Hollywood
Pada awal abad ke-20, Hollywood masih bayi. Studio-studio film baru bermunculan, ambisi membara, dan uang berputar dengan cepat. Namun, dengan pertumbuhan pesat ini datanglah kerentanan. Para gangster, khususnya dari keluarga kriminal Italia-Amerika, melihat peluang emas untuk mencuci uang haram mereka dan memperluas pengaruh di dunia hiburan.

Menurut buku "Five Families: America's Greatest Mafia Dynasties" karya Selwyn Raab, keluarga mafia seperti Genovese, Gambino, dan Lucchese secara sistematis menyusup ke serikat pekerja perfilman, terutama International Alliance of Theatrical Stage Employees (IATSE). Serikat ini memegang kendali atas semua aspek teknis pembuatan film, dari tata panggung hingga pencahayaan. Dengan mengendalikan IATSE, mafia memiliki kekuatan untuk mengganggu produksi film, memeras studio, dan memaksa perekrutan orang-orang mereka.
George Browne dan Willie Bioff: Duo Maut di Balik Layar Hollywood
Dua nama yang paling sering disebut dalam koneksi mafia-Hollywood adalah George Browne dan Willie Bioff. Browne adalah presiden IATSE, sementara Bioff adalah orang kepercayaannya. Mereka berdua bekerja sama untuk memeras studio-studio besar seperti MGM, Paramount, dan 20th Century Fox.
Menurut laporan dari Organized Crime: An Encyclopedia, Browne dan Bioff mengancam akan melakukan pemogokan dan sabotase kecuali studio-studio membayar "damai". Jumlah yang mereka peras mencapai jutaan dolar, yang kemudian mengalir ke kantong para bos mafia. Dalam persidangan mereka pada tahun 1941, Browne dan Bioff dinyatakan bersalah atas pemerasan dan dijatuhi hukuman penjara. Namun, ini hanyalah puncak gunung es.
Bugsy Siegel: Gangster Glamor dan Ambisi Hollywood
Benjamin "Bugsy" Siegel, seorang gangster flamboyan dari New York, juga terpikat oleh pesona Hollywood. Dia pindah ke California pada tahun 1930-an dan dengan cepat membangun jaringan koneksi dengan bintang film dan eksekutif studio. Siegel bermimpi untuk menjadi produser film, tetapi ambisinya terhenti karena kekerasan dan kehidupannya yang penuh dosa.

Menurut buku "Bugsy Siegel: The Life and Crimes of America's Most Notorious Gangster" karya E. Michael Thomas, Siegel menggunakan kekerasan dan intimidasi untuk mendapatkan pijakan di Hollywood. Dia sering bertindak sebagai "penyelesai masalah" bagi para bintang film, menyelesaikan perselisihan dan melindungi mereka dari masalah hukum (tentu saja, dengan imbalan yang pantas).
Pengaruh Mafia: Lebih dari Sekadar Pemerasan
Cengkeraman mafia di Hollywood tidak hanya terbatas pada pemerasan dan intimidasi. Mereka juga mempengaruhi alur cerita film dan pemilihan aktor. Studio-studio yang takut menolak permintaan mafia seringkali terpaksa memasukkan aktor-aktor yang tidak berbakat ke dalam film mereka, atau mengubah alur cerita agar sesuai dengan keinginan para gangster.

Dalam buku "The Godfather Companion" karya Peter Biskind, disebutkan bahwa film-film gangster pada era tersebut seringkali melebih-lebihkan kekuasaan dan karisma mafia, secara tidak langsung mempromosikan gaya hidup kriminal. Selain itu, beberapa studio diduga menggunakan dana mafia untuk membiayai produksi film mereka, yang semakin memperkuat cengkeraman organisasi kriminal tersebut.
Akhir Era Kegelapan: Berakhirnya Kekuasaan Mafia di Hollywood
Pada tahun 1950-an, pemerintah Amerika Serikat meningkatkan upaya untuk memberantas kejahatan terorganisir. Serangkaian penyelidikan dan persidangan berhasil membongkar jaringan mafia di Hollywood dan menyeret para pelaku ke pengadilan.
Meskipun pengaruh mafia di Hollywood tidak sepenuhnya hilang, namun kekuatannya telah berkurang secara signifikan. Studio-studio film menjadi lebih berhati-hati dalam berurusan dengan orang-orang yang mencurigakan, dan serikat pekerja perfilman memperketat pengawasan terhadap anggotanya.
Namun, bayang-bayang masa lalu masih terasa. Kisah-kisah tentang koneksi mafia-Hollywood menjadi pengingat bahwa di balik gemerlap dan kemewahan dunia hiburan, selalu ada sisi gelap yang tersembunyi. Pertanyaannya, seberapa jauh kita bisa memastikan bahwa "bayangan" itu tidak kembali menghantui industri film modern? Apakah sistem pengawasan saat ini cukup kuat untuk mencegah organisasi kriminal mencengkeram kembali industri yang sangat berpengaruh ini? Hollywood, dengan segala daya tariknya, akan selalu menjadi medan pertempuran antara cahaya dan kegelapan.