Dilema Moral dalam Eksperimen Ilmiah
Langit malam berpendar pucat di balik kaca jendela laboratorium. Dr. Adrian Muller duduk di depan meja kerjanya, jari-jarinya menggenggam pena yang tak bergerak di atas laporan eksperimen. Sorot lampu neon memantulkan bayangannya di layar monitor—sebuah gambar hitam-putih dari rekaman kamera tersembunyi yang menunjukkan seorang pria duduk di sudut ruangan, tatapan kosong tertuju pada sesuatu di luar jendela.

Eksperimen ini dirancang untuk menguji batas mental manusia dalam isolasi ekstrem. Peserta, seorang pria bernama Elias, ditempatkan di rumah kosong selama satu bulan penuh. Tidak ada kontak manusia. Tidak ada gangguan dari dunia luar. Hanya dinding-dinding bisu dan cahaya redup dari lampu kuning yang sesekali berkedip. Semua interaksi sosial dihilangkan, kecuali observasi melalui kamera tersembunyi yang merekam setiap detik kesendirian Elias.
Sejak awal, Adrian merasa ragu. Namun, demi sains, ia membiarkan eksperimen ini berjalan. Ia tidak menyangka bahwa keputusan itu akan menghantuinya selamanya.
Dampak Psikologis yang Tak Terduga
Hari ke-12, perubahan pertama mulai terlihat. Elias, yang sebelumnya tenang, mulai menunjukkan tanda-tanda kegelisahan. Awalnya hanya langkah-langkah kecil di ruangan, tetapi kemudian ia mulai berbicara sendiri—gumaman samar yang terekam dalam mikrofon tersembunyi.

Malam ke-18, Elias menuliskan sesuatu dalam jurnalnya:
“Ada suara dari luar. Seperti langkah kaki di lorong. Tapi aku di sini sendirian... bukan?”
Pada rekaman berikutnya, Elias mulai menunjukkan perilaku aneh. Ia berdiri di depan jendela selama berjam-jam, seolah menunggu sesuatu. Kamera menangkap wajahnya yang pucat, matanya yang membesar dengan pupil melebar. Sesekali, ia bergerak cepat ke belakang ruangan, tubuhnya bergetar seolah menghindari sesuatu yang tak terlihat.
Adrian menatap layar monitor dengan tegang. Tidak ada apa pun di luar jendela. Tidak ada suara. Tidak ada gerakan. Namun, ekspresi Elias menunjukkan ketakutan yang sangat nyata.
Atmosfer yang Mencekam: Halusinasi atau Kenyataan?
Malam ke-25. Hujan turun deras. Kilatan petir menerangi rumah tempat Elias dikurung.
Elias terduduk di sudut ruangan. Tubuhnya gemetar hebat, tangannya mencengkeram rambutnya sendiri. Kamera merekamnya bergumam pelan, suaranya nyaris tidak terdengar:

“Dia masih di sana… masih di sana… menatapku.”
Lalu, tiba-tiba, kepalanya menoleh ke jendela. Matanya membelalak. Nafasnya memburu.
Adrian membeku di depan monitor. Di layar, Elias menatap sesuatu di luar jendela dengan ekspresi teror mutlak. Mulutnya terbuka, seolah ingin menjerit, tetapi tidak ada suara yang keluar.
Lalu, dalam sekejap, ia berlari ke arah jendela dan meninju kaca dengan kepalan tangan berdarah. Alarm peringatan berbunyi. Tim medis bergerak. Eksperimen dihentikan.
Trauma yang Berkepanjangan
Elias ditemukan dalam kondisi linglung dan tidak dapat berbicara. Ia hanya berulang kali menulis di dinding kamar rumah sakit dengan tangannya yang gemetar:

“Aku tidak sendirian. Aku tidak sendirian. Aku tidak sendirian.”
Adrian menatap laporan medis di tangannya. Diagnosis: psikosis akut akibat isolasi ekstrem. Kesimpulan eksperimen? Batas manusia lebih rapuh daripada yang kita duga.
Namun, yang membuat Adrian tidak bisa tidur bukanlah hasil eksperimen ini.
Bukan juga rasa bersalah karena membiarkan Elias mengalami trauma yang tak dapat dipulihkan.
Melainkan satu hal yang tertangkap di rekaman kamera malam itu.
Sesaat sebelum Elias menyerang jendela, selama sepersekian detik, sebuah bayangan samar terlihat dalam kilatan petir.
Sebuah siluet tinggi berdiri di luar jendela.
Namun, menurut catatan pengawasan, tidak ada siapa pun di sekitar rumah pada malam itu.