
Pada awal tahun 2017, seorang teknisi IT Uni Afrika yang lembur sendirian menemukan keanehan: server pusat terus bekerja bahkan ketika gedung kosong total. Setiap malam, tepat pukul 2 pagi, ada lonjakan transfer data keluar negeri. Tak hanya ratusan megabyte—tapi gigabyte informasi yang mengalir dengan pola yang mencurigakan.
Penyelidikan diam-diam dilakukan. Hasilnya menggemparkan: semua data internal Uni Afrika—rapat rahasia, strategi regional, hingga komunikasi diplomatik—telah dikirim secara otomatis ke sebuah alamat IP di Shanghai, Tiongkok. Selama lima tahun. Tanpa seorang pun menyadarinya.
Bayangkan, strategi politik seluruh benua terekspos ke entitas asing. Dunia maya Afrika ternyata tak sepenuhnya milik mereka.
Tak berhenti sampai di sana, penyelidikan fisik terhadap gedung menyingkap lebih banyak fakta mencengangkan. Mikrofon tersembunyi ditemukan di balik dinding ruang rapat. Beberapa meja bahkan dilengkapi dengan perangkat audio tersembunyi yang terhubung ke sistem kabel internal.
Komputer yang disumbangkan dengan gratis oleh perusahaan Tiongkok ternyata menyimpan backdoor—akses rahasia yang memungkinkan kontrol jarak jauh tanpa sepengetahuan pengguna. Bahkan jaringan internal gedung memiliki “lubang tikus” digital yang bisa diakses dari luar negeri.
Reaksi resmi Tiongkok? “Itu tuduhan tidak masuk akal,” kata juru bicara mereka. Namun, Uni Afrika segera mengganti seluruh sistem server, memutus semua hubungan dengan vendor Tiongkok, dan melakukan audit menyeluruh.
Kasus ini menandai babak baru dalam geopolitik modern. Diplomasi tidak lagi hanya berbentuk kunjungan kenegaraan atau investasi infrastruktur. Kini, kabel, chip, dan kode program menjadi senjata.
Para analis menyebutnya "Soft Power Hard Control"—strategi untuk menguasai tanpa terlihat menguasai. Bangun gedung, pasang sistem, tanamkan pengawasan. Tidak perlu invasi militer jika Anda bisa mengendalikan informasi lawan dari ruang server.
Dan ini bukan hanya Afrika. Banyak negara berkembang telah menerima teknologi “gratis” dari kekuatan global. Berapa banyak di antaranya yang sebenarnya sedang diawasi? Kita tidak tahu. Mungkin, kita tak akan pernah tahu.
Kisah penyadapan Uni Afrika menjadi pengingat: bahwa di zaman modern, tidak ada yang benar-benar gratis. Ketika teknologi datang tanpa biaya, mungkin Anda adalah produk yang dijual.
Dan jika gedung paling penting di benua Afrika bisa disadap selama lima tahun tanpa ada yang curiga—apa yang menjamin kita aman?
Laptop yang kamu gunakan? Router Wi-Fi di ruang tamu? Bahkan aplikasi chatting di ponselmu?
Mereka mungkin lebih tahu tentang dirimu daripada ibumu sendiri.
Artikel ini disusun berdasarkan laporan investigasi dari Le Monde, The Guardian, dan kebocoran dokumen dari penyelidikan internal Uni Afrika. Untuk kamu yang membaca ini, satu pesan penting: di era digital, waspadalah terhadap setiap hadiah yang datang tanpa harga.
Temukan artikel menarik lainnya yang mungkin Anda sukai berdasarkan topik dan kategori yang serupa.