Pada tahun 2023, sebuah pengungkapan mengejutkan terjadi di ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta. Catatan harian seorang pembunuh berantai yang sebelumnya tersembunyi di balik dinding kehidupan pribadinya kini dibuka dan diperlihatkan kepada publik. Catatan tersebut berisi ungkapan pemikiran dan perasaan pelaku yang tidak pernah terungkap sebelumnya. Sejak kasus ini pertama kali muncul di media pada 2022, masyarakat dihantui oleh misteri pelaku pembunuhan yang kejam dan terorganisir. Kini, dengan adanya pengungkapan catatan harian, sejumlah pertanyaan mulai terjawab, terutama mengenai apa yang mendorong pelaku untuk melakukan tindakannya yang tak termaafkan.

Sebuah pengakuan di dalam catatan harian itu berbunyi, “Aku ingin mereka merasakan apa yang aku rasakan, kesepian yang mencekam, rasa terabaikan yang menyakitkan. Aku harus membayar harga mereka yang tidak pernah peduli." Kutipan ini mencerminkan motif gelap yang telah membentuk pola pikir pelaku dan menjadi salah satu kunci utama dalam mengungkap psikologi seorang pembunuh berantai.
Kasus ini bermula pada pertengahan tahun 2022, ketika masyarakat mulai dilanda ketakutan oleh serangkaian pembunuhan yang terkesan acak, namun dengan pola yang jelas. Korban-korbannya berusia antara 25 hingga 35 tahun, baik laki-laki maupun perempuan, dan ditemukan di berbagai lokasi berbeda—dari pinggiran kota hingga kawasan perumahan kelas menengah. Setiap tubuh ditemukan dalam kondisi yang hampir identik, terikat dengan tali dan mengalami luka yang mencurigakan di bagian tubuh yang vital. Selain itu, tidak ada barang berharga yang hilang, dan setiap kali terjadi pembunuhan, pelaku tampaknya menggunakan metode yang sangat terorganisir, tanpa meninggalkan banyak bukti yang dapat mengarah pada identitasnya.

Ketika polisi mulai melakukan penyelidikan lebih mendalam, mereka menemukan bahwa pembunuhan-pembunuhan tersebut memiliki pola yang sangat terstruktur dan terencana. Namun, tidak ada saksi atau bukti yang mengarah pada satu individu. Kasus ini terkesan seperti teka-teki yang tidak terpecahkan hingga akhirnya catatan harian pelaku ditemukan dalam penyelidikan lanjutan di rumahnya pada akhir tahun 2022.
Pelaku, seorang pria berusia 38 tahun bernama Andi Andoyo, yang selama ini dikenal sebagai individu yang hidup menyendiri dan tidak memiliki interaksi sosial yang berarti, akhirnya ditangkap pada bulan Januari 2023. Wawancara dengan tetangga dan rekan kerjanya mengungkapkan bahwa Andi adalah sosok yang pendiam dan jarang berinteraksi dengan orang lain. Bahkan, menurut keterangan para ahli forensik, sifat tertutup Andi dan minimnya jejak sosialnya menjadi faktor yang membuatnya sulit terdeteksi oleh aparat hukum.
Setelah dilakukan penggeledahan di rumah Andi, polisi menemukan sebuah catatan harian yang sangat terperinci, berisi pemikiran dan perasaan pelaku sebelum dan sesudah melakukan pembunuhan. Catatan harian ini memberikan gambaran yang lebih dalam mengenai psikologi pelaku dan motivasinya yang tidak terduga.

Salah satu bagian penting dalam catatan tersebut adalah entri yang bertanggal 16 Maret 2022, yang berbunyi:
"Aku melihat dunia ini sebagai tempat yang tak adil. Mereka yang hidup bahagia tidak mengerti betapa sakitnya hidupku. Mereka terlalu sibuk dengan kebahagiaan mereka, dan aku merasa terabaikan. Aku ingin mereka tahu apa rasanya dipinggirkan, dijauhi. Aku hanya ingin merasakan ada sesuatu yang lebih dalam hidupku."
Selain itu, pada tanggal 24 April 2022, terdapat pengakuan lain dalam catatan yang menunjukkan bahwa pelaku merasa ingin membalas dendam kepada orang-orang yang ia anggap "tidak peduli" terhadapnya. "Setiap orang yang aku bunuh adalah orang yang menggambarkan dirinya sebagai orang yang baik, yang tidak pernah merasakan apa yang aku rasakan. Mereka semua harus membayar."
Penyelidikan forensik pada alat yang digunakan untuk membunuh korban menunjukkan bahwa pelaku sangat hati-hati dalam memilih alat dan teknik yang digunakan. Dia tahu betul bagaimana menghindari meninggalkan jejak, serta memilih waktu dan tempat yang tidak terdeteksi. Bukti dari catatan harian tersebut juga menunjukkan bahwa pelaku memilih korban yang tidak memiliki ikatan keluarga atau sosial yang dekat, karena ia ingin memastikan bahwa tidak ada yang akan mencari atau khawatir tentang keberadaan mereka.
Berdasarkan data medis yang dikumpulkan selama penyelidikan, diketahui bahwa Andi memiliki riwayat gangguan mental. Pelaku didiagnosis dengan gangguan kepribadian narsistik dan gangguan kepribadian antisosial, yang menyebabkan ketidakmampuannya untuk merasakan empati atau menilai konsekuensi dari tindakannya. Sebuah laporan dari seorang psikolog kriminal mengatakan bahwa Andi berusaha menampilkan dirinya sebagai sosok yang superior, lebih cerdas, dan lebih berhak atas kehidupan orang lain.
Setelah catatan harian tersebut dibuka ke publik, dampaknya sangat besar. Di satu sisi, masyarakat mulai memahami bahwa motivasi di balik tindakan kejam ini bukan hanya didorong oleh niat jahat semata, tetapi juga karena gangguan psikologis yang mendalam. Ini memicu diskusi luas tentang pentingnya sistem dukungan psikologis yang lebih baik di Indonesia. Kasus ini juga menyoroti kekurangan dalam sistem pemantauan kesehatan mental yang dapat mengidentifikasi gangguan psikologis lebih dini.

Di level kebijakan, kejadian ini mendorong pemerintah untuk memperbaharui pendekatan terhadap pencegahan kekerasan, khususnya di kalangan individu dengan gangguan mental. Beberapa lembaga kesehatan mental mulai bekerja sama dengan pihak kepolisian dalam upaya mendeteksi individu berisiko lebih tinggi untuk melakukan tindakan kriminal berdasarkan riwayat medis dan perilaku yang terdeteksi lebih awal. Program-program rehabilitasi mental yang lebih terstruktur mulai diterapkan, dengan fokus pada mereka yang memiliki riwayat isolasi sosial atau gangguan kepribadian yang belum ditangani.
Setelah catatan harian ini terungkap, banyak yang berpendapat bahwa pentingnya deteksi dini terhadap gangguan mental menjadi salah satu kunci utama untuk mencegah kejahatan yang lebih besar. Tindak lanjut dari kasus ini termasuk reformasi dalam sistem perawatan kesehatan mental di Indonesia, serta pelatihan lebih lanjut bagi para profesional medis dan penegak hukum dalam mengenali tanda-tanda gangguan mental yang berisiko.
Selain itu, pendidikan masyarakat mengenai pentingnya perhatian terhadap kesehatan mental menjadi agenda yang lebih diperhatikan. Kejadian ini juga menunjukkan bahwa perilaku kriminal tidak selalu dapat dilihat dari luar, dan bahwa setiap tindakan kekerasan yang terjadi sering kali berakar dari masalah psikologis yang mendalam dan tidak terlihat oleh orang lain.
Dengan langkah-langkah tersebut, diharapkan kejadian serupa dapat lebih terdeteksi lebih awal, dan pencegahan yang lebih efektif dapat dilakukan untuk menghindari kekerasan yang dapat merenggut nyawa banyak orang.