Eksperimen Hibrida Manusia-Kera (1920-an)

Pada tahun 1920-an, seorang ilmuwan Uni Soviet bernama Ilya Ivanovich Ivanov mendapat dukungan dari pemerintah untuk melakukan eksperimen kontroversial: menciptakan hibrida antara manusia dan kera.
Ivanov adalah seorang ahli inseminasi buatan yang terkenal karena keberhasilannya dalam membiakkan spesies hewan yang berbeda. Namun, kali ini, ambisinya lebih besar—menguji apakah manusia bisa dikawinkan dengan simpanse.
Di laboratoriumnya di Afrika Barat, ia mencoba membuahi beberapa simpanse betina dengan sperma manusia. Eksperimennya gagal. Tidak menyerah, ia berencana untuk melakukan eksperimen sebaliknya: membuahi wanita manusia dengan sperma simpanse. Namun, sebelum eksperimen ini dapat dilaksanakan, pemerintah Soviet menarik dukungannya, dan Ivanov akhirnya diasingkan.
Meskipun eksperimen ini tidak pernah berhasil, fakta bahwa upaya seperti ini pernah dilakukan menunjukkan sejauh mana sains dapat melangkah tanpa batasan etika.
Monster Experiment (1939)

Di Amerika Serikat, Dr. Wendell Johnson, seorang psikolog dari Universitas Iowa, percaya bahwa gangguan bicara seperti gagap dapat dipelajari dan bukan hanya faktor genetik. Untuk membuktikan teorinya, ia mengadakan eksperimen psikologis yang kemudian dikenal sebagai "Monster Experiment".
Eksperimen ini dilakukan pada tahun 1939 oleh asistennya, Mary Tudor, terhadap 22 anak yatim piatu. Separuh dari mereka diberi perlakuan positif—mereka dipuji atas kefasihan berbicara mereka. Separuh lainnya, termasuk anak-anak yang sebelumnya tidak memiliki masalah bicara, diberi perlakuan negatif—mereka dikritik habis-habisan, dikatakan memiliki masalah berbicara, dan dibuat percaya bahwa mereka mengalami gagap.
Hasilnya mengerikan. Beberapa anak yang mengalami perlakuan negatif benar-benar mulai gagap, dan efek psikologisnya bertahan seumur hidup. Mereka mengalami kecemasan sosial dan gangguan kepercayaan diri yang tak pernah hilang.
Eksperimen ini dianggap sebagai pelanggaran etika, tetapi saat itu tidak ada regulasi yang melarangnya. Baru bertahun-tahun kemudian, Universitas Iowa meminta maaf kepada para korban.
Eksperimen Kejam di Kamp Konsentrasi Nazi

Selama Perang Dunia II, Josef Mengele, seorang dokter Nazi yang dijuluki "Malaikat Maut", melakukan eksperimen brutal terhadap tahanan kamp konsentrasi Auschwitz.
Mengele sangat tertarik dengan genetika, terutama pada anak kembar. Ia melakukan eksperimen tanpa anestesi, seperti menyuntikkan zat berbahaya ke mata mereka untuk mengubah warna iris, atau mencoba menyambungkan tubuh dua anak kembar menjadi satu.
Selain itu, ia juga melakukan sterilisasi paksa, amputasi, dan prosedur yang mengabaikan semua norma kemanusiaan. Banyak korban yang meninggal dalam eksperimen ini, dan mereka yang selamat sering kali mengalami dampak kesehatan yang mengerikan.
Setelah perang berakhir, Mengele berhasil melarikan diri ke Amerika Selatan dan hidup dalam pelarian hingga kematiannya pada tahun 1979.
Ilmu Pengetahuan Tanpa Batasan?
Eksperimen-eksperimen ini adalah bukti bahwa tanpa etika, ilmu pengetahuan bisa menjadi alat yang mengerikan. Dari hibrida manusia-kera hingga manipulasi psikologis dan eksperimen medis tanpa belas kasihan, sejarah mencatat banyak contoh ilmuwan yang mencoba bermain sebagai Tuhan.
Hari ini, dengan adanya regulasi ketat dalam penelitian, eksperimen semacam ini dianggap tidak dapat diterima. Namun, pertanyaannya tetap: sampai sejauh mana manusia akan terus mencoba menembus batas alam dan etika?